'Aku Bangga jadi anak Pematangsiantar,' cerita warga yang tinggal ... - Warta 24 Jambi
GRID_STYLE

Post/Page

Weather Location

{fbt_classic_header}
www.uhamka.ac.id/reg

'Aku Bangga jadi anak Pematangsiantar,' cerita warga yang tinggal ...

'Aku Bangga jadi anak Pematangsiantar,' cerita warga yang tinggal ...

]]> …

'Aku Bangga jadi anak Pematangsiantar,' cerita warga yang tinggal ...

]]> 'Aku Bangga jadi anak Pematangsiantar,' cerita warga yang tinggal di kota-kota paling toleran
SingkawangHak atas foto Getty Images
Image caption P erayaan Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat.

Warga yang tinggal di kota-kota yang disebut paling toleran termasuk Manado, Pematangsiantar, Singkawang, Salatiga dan Tual berkisah tentang pengalaman mereka.

Data Setara Insitute menunjukkan kelima kota dari 94 kota di seluruh Indonesia yang disurvei memiliki angka yang sama, dari penilaian terkait bagaimana masyarakat yang heterogen hidup bersama dan siap mencegah ketegangan agama.

Bagaimana pengalaman mereka yang tinggal di kota-kota itu?

  • Bagaimana agar intoleransi tak berlanjut sesudah pilkada DKI Jakarta?
  • Facebook BBC Indonesia: Kitorang samua basudara
  • Teriakan anak-anak 'bunuh si Ahok' di pawai obor 'bisa berbahaya'
  • Kisah toleransi ‘torang samua basudara’ di Manado

"Kapan-kapan jalan-jalan dong ke vihara Avalokiteshvara di Pematangsiantar. Meskipun Bu ddha adalah minoritas di sana, namun patung Dewi Kwan Im yang amat gede tegak berdiri kokoh sampai saat ini. Gak ada protes-protes dan gak ada yang minta untuk menurunkan patung tersebut. Malahan mereka yang beragama di luar Buddha seperti Islam dan Kristen foto-foto asyik di situ," cerita Johana melalui Facebook BBC Indonesia.

"Ini keluarga saya. Mereka Kristen dan salah satu dari mereka mualaf. Ini beberapa lokasi di sekitar vihara tersebut," sambung Johana mengirimkan foto keluarganya ke BBC Indonesia.

Cerita lain tentang Pematangsiantar diangkat Daniel Sofyan yang menulis, "Punya teman di sana, dan itu sangat benar, Pematangsiantar adalah kota yang penuh dgn toleransi, teman saya cerita, setiap perayaan hari besar agama mereka akan saling mengunjungi, baik umat Muslim, Kristen, Budha, mereka saling bercanda tawa di kedai kopi.. mereka seakan tidak saling memendam kebencian, yang benar itu benar yang salah itu salah tanpa memandang latar belakang a gama. Itulah seharusnya Indonesia."

Warga lain Andi Silalahi berkomentar singkat, "Aku Bangga jadi anak Pematangsiantar."

Hak atas foto Johana

Ismail Hasani dari Setara Insitute, yang membuat survei terkait Hari Toleransi Internasional pada 16 November lalu memberi contoh tingginya toleransi di kota-kota ini antara lain karena berhasil mencegah kemungkinan ketegangan antara pemeluk agama.

Hak atas foto Yongke Londa
Image caption Masjid At-Taqwa Manado yang terletak di antara beberapa gereja.

Efek Pilkada DKI Jakarta dibentengi di Salatiga

Manado, contohnya kata Ismail, memiliki Badan Koordinasi Kerjasama Antar Agama, satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki badan seperti ini yang berfungsi untuk melakukan "mitigasi ketegangan agama."

Penduduk Manado membanggakan diri dengan moto hidup bersama dengan Kitorang Samua Basudara, kita semua bersaudara.

Di Salatiga, kata Ismail, ketahanan sosial kota ini ditunjukkan dengan menghindari permusuhan akibat dampak dari Pilkada DKI Jakarta yang juga dirasakan di kota Jawa Tengah itu.

"Kota ini memiliki ketahanan sosial atas berbagai situasi yang terjadi, termasuk untuk mencegah hoaks akibat efek Pilkada DKI yang menyebar di Indonesia. Generasi muda membentuk semacam medium melalui WhatsApp untuk membentengi warga dari hoax. Bisa dikatakan, Salatiga, tanpa pemerintah bekerja, masyarakat sudah sangat toleran," kata Ismail.

Kristi Anto yang pernah tinggal di Salatiga bercerita tentang pengalamannya melalui Facebook BBC Indonesia, "Empat tahun saya belajar di Salatiga tahun 1989 - 1993. Salatiga kota kecil dengan multi etnik yang dapat hidup berdampingan."

Tual, Maluku, juga menjadi kota yang paling toleran karena masyarakat setempat menyadari bahwa "agama bukan medium permusuhan" pasca konflik 1999.

"Pasca konflik mereka menyadari bahwa konflik ini awalnya sepele dan ada pihak yang memanfaatkan. Masyarakat sadar bentul bahwa mereka "diadu domba" dan mereka punya kesadaran lebih di atas rata rata dan punya ketahanan sosial kuat," kata Ismail.

Kesadaran membengi diri di Singkawang, Kalimantan Barat, juga dirasakan David Willyiam, melalui Facebook BBC Indonesia.

"Beberapa tahun yang lalu hingga sekarang masih sempat terjadi gesekan dan provokasi serta pengrusakan monumen berwarna etnisitas dan upacara adat lokal di kota Singkawang dan Pontianak oleh ormas radikal dari luar Kalimantan Barat ... Mereka mendapat penolakan dari semua unsur etnis yang sudah hidup rukun di Kalbar sejak dulu," tulis David.

Contoh di Manado ditulis Man Adam, "Kami tiga bersaudara, bapak saya Muslim, sepupu saya sebelah bapak Muslim tapi kami saling menyayangi dan menghormati, demikian juga dalam pergaulan sehari-hari tidak ada perbedaan hak dan kewajiban antara Muslim Kristen dan agama-agama lain."

Hak atas foto Yongke Londa
Image caption Moto torang samua basudara di Manado.

Tak ada Perda diskriminatif

"Tidak ada mengkafirkan terhadap pemeluk agama dan beda suku karena setiap hari besar agama-agama yang ada di Sulawesi Utara saling berkunjung dan memberi ucapan selamat meray akan, demikian juga diacara kedukaan semua saling menghibur dan menguatkan tanpa pandang beda suku, agama dan ras," tambah Adam.

Kota-kota ini dinilai berdasarkan kemajemukan, kepemimpinan politik dan regulasi, kata Ismail Hasani.

"Semakin heterogen semakin tinggi nilai karena upaya yang dibutuhkan masing-masing walikota berbeda," kata Ismail.

Ia juga mengatakan kepemimpinan politik dan regulasi sangat terkait dengan praktek toleransi.

"Semakin tak ada peraturan yang diskriminatif bobotnya semakin tinggi. Misalnya peraturan yang mengunggulkan kelompok tertentu. Perda-perda pada umumnya berbasis agama Islam, istilahnya Perda diskrimatif atau regulasi intoleran seperti larangan Syiah di Makassar...Di daerah dengan drajat toleransi tinggi tidak ada peraturan itu," kata Ismail.

Tiga kota dengan nilai toleransi paling rendah adalah Jakarta, Banda Aceh dan Bogor.

Dan melalui Facebook BBC Indonesia, salah seorang pengguna Elena P ratama Putri menulis, "Semoga virus virus kebencian kedengkian yang selalu disebarkan oleh mereka mereka yang dangkal pemahaman agamanya tidak masuk dan menjangkiti masyarakat di kota-kota itu."

Sumber: Google News | Warta 24 Pematangsiantar

Tidak ada komentar